Kamis, 24 Februari 2011

Joni Kemalang

Posted by Gamal Al Ayyubi 19.01, under | No comments


Hangat sinar matahari menemaniku untuk beberapa saat yang lalu ketika aku berada di sebuah danau di balik bukit, kehangatan itu perlahan menengkan jiwa yang pada saat itu sedang berkecambuk melawan kenyataan hidup. Akan tetapi sekarang aku sudah berada disini, tempat yang aku impikan, idam-idamkan sejak pertama kali aku menduduki bangku perkuliahan empat tahun yang lalu. Lebih dari 22 tahun tak kusadari aku telah merintis jalan untuk menuju tempat ini sejak kecil, entah ini takdir dari Alloh SWT ataukah ini memang hasil kerja kerasku sendiri yang telah ber azam untuk berada di tempat ini, akan tetapi jika di telisik lagi, apabila memang jalan ini sudah kurintis sejak 22 tahun yang lalu, bisa kupastikan ini adalah takdir dari Alloh SWT. Betapa besar pengaruh Tuhan dalam hidupku sehingga aku berada disini sehingga tak bisa dipungkiri kenyataan bahawa mulai saat ini aku percaya dengan takdir  dan kerja keras adalah bagian dari takdir setiap manusia. Memang benar tak lepas dari keluargaku yang telah beru[paya sekuat tenaga untuk mewujudkan cita-citaku ini, mulai dari bapakku yang memang sejak dari kecil telah menaruh harapan besarnya di pundakku, mulai dari obsesi dengan mata palajaran MAtematika sampai ke ranah yang melenceng dari kaidah matematika. Dimanapun aku ber sekolah memang semua nya adalah karena tekadku sendiri, tanpa ada interfensi dari orang tua karena mereka pada dasarnya mendukung semua keputusanku asalkan itu baik. Seorang ibu yang tidak hanya mempunyai satu cara untuk mendidik anaknya, terkadang memang terkesan keras dalam mendidik anaknya tetapi tak jarang juga sangat lembut. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan olehnya, apa beliau tidak berfikir untuk bahwa apa yang dilakukan akan sangat berpengaruh dengan masa depan anaknya, dan sekarang ketiak aku sudah dewasa ibu selalu mengalah dengan keputusanku tak pernah lagi terdengar bentakan-bentakan kecil dari mulut beliau, selain dari faktor umur juga karena kasih sayang yang ingin ia dapatkan dari sang anak di hari tuanya. Dan terakhir adalah sang kakak yang sejak kecil tidak pernah akur, selalu bertengkar dengan ku, entah itu hanya sebatas perebutan mainan atau sekedar keinginanku untuk ikut bermain dengan nya yang selalu di tolak. Walaupun begitu tanpa disadari kedua orang kakak beradik ini memiliki kesamaan di bidang minat, kami sama-sama menyukai music dan lebih lanjutnya kami sama-sama hoby mengebuk drum, selain itu mulai dari olah raga maupun team sepak bola meraka memiliki kesamaan, olah raga dan club yang mereka gandrungi sama dan bahkan hoby bermain game mereka tak jauh berbeda. Sekarang kedua kaka beradik tersebut telah kembali akur, berkat nasihat dari sang bapak. “kelak kalian akan berkeluarga, akan memilki anak sendir-sendiri, Anak-anak kalian akan menjadi saudara sepupu, lalu apa kata dunia jika paman mereka ternyata tidak akur dengan bapaknya, coba berfikirlah jauh kedepan jangan hanya mengejar sesuatu yang didepan mata, tapi kejarlah yang brada jauh disana yaitu masadepan”
Aku adalah anak terakhir dari dua orang bersaudara. Kami hidup dalam golongan keluarga yang sederhana tetapi mampu lebih. Bapak dan ibuku seorang PNS, sedangkan aka dan kakaku hanya terpaut empat tahun. Strategy yang baik untuk mengurangi resiko membaya uang masuk sekolah menumpuk dua orang sekaligus. Kami hidup dalam keluarga besar yang selalu membangga banggakan harta mereka seakan-akan merekalah yang paling hebat, dan jujur saja pada sat itu akau sangat minder berada dilingkungan ynag seperti itu. Ok lah mereaka kaya dan aku…, ya tidak terlalu miskin-misin amat lah. TEtapi hati ini selalu berontak ketika bercengkrama dengan mereka, dan ini lah yang membedakan akau dengan kakakku, sia bisa beradaptasi dengan orang –orang kaya, sedangkan aku tidak. Aku lebih suka bermain dengan anak-anak kampong, berkotor-kotoran di sungai, sawah, berlaga seperti preman kampung, berkeliling ke kampung tetangga untuk mencari lawan berkelahi (dengan harapan bisa menklukkan anak-anak kampung tersebut).
Kalian bisa memanggilku Joni. Joni Kemalang adalah nama panjangku, entah apa maksud orangtuaku memberikan nama seperti itu, yang pasti nama ini membuatku sedikit gagah, ini menurutku.
Pulang sekolah biasanya Joni langsung tancap keluar rumah, dengan sepeda BMX warna ungu dan setang yang lebar sedikit berkarat, Joni dan teman-teman layaknya pasukan berkuda berencana untuk berkelana ke kampung sebelah dengan harapan bisa menemukan sesuatu yang baru, atau mungkin bisa berkelahi disana. Ya semangat itulah yang selalu berada di benak mereka saat berkumpul seperti ini.
Seorang dara cantik jelita, terlihat sedang duduk termenung di tepi danau memandang jauh kedepan temoat sebuah mercusuar berdiri di atas  bukit kecil di sebrang danau. Rara selalu merasa dirinya berbeda dengan gadis-gadis lain, yang mungkin saat ini sedang bermesra-mesraan dengan pasangannya ataupun menghabiskan uang orang tuanya hanya sekedar untuk membeli barang-barang yang sifatnya sebagai barang tersier. Rara lebih suka menghabiskan hidupnya untuk bermesraan dengan alam, entah sendiri atau dengan teman-teman pecinta alamnya. Sungguh sangat aneh ketika seorang gadis perawakan Belanda Jawa, berkulit putih hidung mancung dan rambut yang indah, membuat Rara menjadi pujaan para lelaki disekitarnya. Tapi tidak ada yang berhasil meluluhkan hati sang gadis, hatinya yang keras bagai batu telah memberikan hatinya untuk sang alam. Bahkan di umurnya yang akan menginjak 22 tahun Rara belum memikirkan pasangan hidupnya kelak. Ketika segeromolan temannya menanyakan hal tersebut, Rara selalu menjawab dingin, “aku akan menikah dengan alam”. Hidupnya memag tak jauh dari real estate, maklum orang tuanya yang berprofesi sebagai pengusa sukses membuat Rara hidup bekecukupan bahkan lebih, tapi Rara berbeda, bukan itu yang ia inginkan.
Hidup di zaman sekarang memang serba susah, keluh orang tua Joni. “Walaupun kakakmu sudah bekerja tetapi tetap saja bapakmu ini merasa kuarang dalam memenuhi kebutuhanmu Jon”
“Sudahlah pak, santai saja menjalani hidup ini, ndak usah ngotot pengen ini lah, pengen itu lah, Joni udah merasa cukup koq dengan semua ini”
“Iya Jon, sekarang kamu sudah dewasa, sudah bisa memikirkan masa depanmu sendiri, dan bapak hanya bisa mendukung dengan do’a, ya semoga kamu baik-baik saja berada di Negara orang”
“Amin”
Seperti biasa sore-sore menjelang maghrib Joni bersiap-siap menuju masjid di kampungnya. Di setiap langkah, seakan-akan Joni sedang menyusun sebuag puzzle sejarang tentang dirinya di masa kecilnya, susunan ruamahnya masih sama catnya pun tak berbeda jauh, hanya mungkin ada bangunan-bangunan baru yang mengisi setiap jengkal lahan kosong. Rumah megah yang berdiri di pojok kampung merupakan suatu kesedihan bagi Joni, ketiak mengingat disanalah ia didik, disanalah ia belajar bersosialisasi, dan disanalah ia belajar sebuah tanggung jawab. Lapangan sepak bola yang dulu berada disana sekarang sudah berubah wujud menjadi bangunan perumahan mewah. Mobil-mobil kelas satu berjejer di setiap garasi rumah, membuat Joni berdecak. “Andai saja aku punya mobil seperti ini, pasti dia mau menjadi pacarku…hehehe”
          Joni adalah salah satu korban dari Rara. Joni tertawa geli saat mengingat masa-masa itu. Di atas puncak gunung Joni memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hatinya, denga setangkai bunga edelwais yang ia petik saat perjalanan pendakian, berlagak seperti pangeran, di saat mereka dan teman-teman pecinta alam sedang bercengkrama mengelilingi api kecil yang di buat untuk menghangatkan tubuh, dengan diiringi alunan gitar yag syahdu, Joni memulai adegan tersebut. Mula-mula Joni berdiri membacakan sebuah puisi cinta untuk sang dambaan hati, tetapi saat itu Rara masih belum mengerti apa maksud Joni, Rara pun ikut-ikut menyoraki ketika melihat preilaku Joni yang tidak biasa ini, dia menganggap ini hanyalah lelucon Joni saja. Tetapi perlahan Joni mulai menunjukkan itikad yang tidak baik bagi Rara. Joni mulai mendekati Rara sedemikian rupa Joni langsung bersimpuh memberikan setangkai bunga edelweiss.
“Wahai putri Rara yang cantik jelita, tidakkah kau sadar puisi yang kubacakan tadi tidak lain dan tidak bukan adalah untuk Anda, Maka dengan setangkai bunga edelweiss ini saya bermaksud untuk menyatakan perasaan saya kepada Anda. Sudah lama kusimpan perasaan ini, walaupun besar resiko yang harus saya tanggung, tetapi sebagai laki-laki saya harus bisa mengaggung resiko tersebut. Dimalam yang diingin ini kuberanikan diri untuk mengatakan bahwa, Aku mencintaimu. Would you be my girl friends, emmmm sory, Would you be mother from my child”
Kata-kata norak dari Joni langsung disambut dengan sorakan dari teman-temannya. “Huuuuuu………..!”
“Jika kamu mau maka ambil bunga ini lalu letakkan di dadamu, dan jika kamu tidak mau maka ambil bunga ini lalu jatuhkan”
Bermaksud untuk lebih mendramatisir keadaan, seakan memberikan harapan kepada Joni, Rara memulai sebuah narasi pendeknya, padahal dia sudah tahu jawabannya hanya satu.
“Begini Jon, aku sadar kamu sering memperhatikan aku ketika kita bersama entah dia acara apapun, tak bisa kupungkiri kamu memang baik dan sedikit gantenglah, tapi cm sedikit”
“Hahahahahahaaaaa… cuit-cuit” goda teman-teman mereka
“Kita sama-sama anggota pecinta alam, tapi tidak kah kau lupa bahwa sesame anggota PA dilarang pacaran”
Sambil mengambil bunga edelweiss dari tangan Joni lalu menjatuhkan bunga tersebut, Rara mengatakan sesuatu yang membuat kuping Joni panas. “Tapi maaf Jon, aku sudah punya kekasih”
“owwwwwwwwu” sambut teman-teman Joni
“Walaupun begitu kamu tetap berada di sis hatiku Jon, kamu adalah teman terbaikku, Kita adalah sahabat Jon. Maaf”